Minggu, 19 April 2015

Aturan Salat Fardhu Dalam Kenderaan

         
 Untuk salat sunat banyak kelonggaran yang diberikan untuk musafir; Boleh sambil berjalan, tidak menghadap kiblat dan lain-lain (Insya Allah akan kita bahas pada artikel selanjutnya). Berbeda dengan salat sunat, salat fardhu dalam safir syarat dan rukunnya wajib dipenuhi termasuk menghadap kiblat, tidak boleh bergerak tiga kali berturut-turut dan wajib menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Kelonggaran salat wajib dalam perjalanan adalah dibolehkan jama’ qashar dengan ketentuan yang berlaku (akan kitab bahas pada artikel lain).
        Untuk salat fardhu dalam kenderaan juga wajib memenuhi hal-hal berikut:
1.   Wajib menyempurnakan ruku’, sujud dan rukun-rukun lainya.
2.   Wajib menghadap kiblat dari awal hingga akhir salat.
3.   Wajib Istikrar (tidak bergerak tiga kali atau lebih berturut-turut)
4.   Wajib dilakukan dalam keadaan berdiri kecuali ada ozor yang membolehkan tidak berdiri.
5.   Bila syarat-syarat atau rukun salat tidak bisa dipenuhi, maka wajib salat menghormati waktu dengan menyempurnakan syarat rukun sebisanya dan salat tersebut wajib diqadha.

Lihat:
Zakaria al-Anshari, Asna al-Muthalib Fii Syarh Raudh At-Thalib, (Daar al-Kutub, t.t), juz, 1. hal. 136.
(فَرْعٌ يُشْتَرَطُ فِي) صِحَّةِ صَلَاةِ (الْفَرِيضَةِ الِاسْتِقْرَارُ وَالِاسْتِقْبَالُ وَتَمَامُ الْأَرْكَانِ) احْتِيَاطًا لَهَا وَلِمَا مَرَّ فِي خَبَرِ الشَّيْخَيْنِ أَوَائِلَ الْبَابِ (إلَّا لِضَرُورَةٍ كَخَوْفِ فَوْتِ رُفْقَةٍ) وَإِنْ لَمْ يَتَضَرَّرْ بِهِ كَمَا اقْتَضَاهُ كَلَامُهُمْ هُنَا وَصَرَّحُوا بِهِ فِي نَظِيرِهِ مِنْ التَّيَمُّمِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ الْوَحْشَةِ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا عَلَى الدَّابَّةِ سَائِرَةً إلَى مَقْصِدِهِ (وَيُعِيدَ) هَا
“Far’un: Untuk sah salat fardhu disyaratkan tidak bergerak-gerak, menghadap kiblat dan menyempurnakan segala rukun karena hati-hati untuk salat fardhu dan berdasarkan hadis Bukhari dan Muslim yang telah disebutkan di awal bab kecuali karena dharurah seperti takut tertinggal oleh rombongan walaupun ia tidak mudharat karena itu sebagaimana dipahami dari kalam ulama dalam masalah ini. Para ulama juga menjelaskannya secara jelas pada masalah tayamum dengan alasan al-Wahsyah maka orang itu boleh salat di atas kendaraan yang sedang berjalan ketujuannya dan ia wajib mengulangi salatnya.”

Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t), juz, 3, hal. 221 – 222.

(الثَّامِنَةُ) شَرْطُ الْفَرِيضَةِ الْمَكْتُوبَةِ أَنْ يَكُونَ مُصَلِّيًا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقِرًّا فِي جَمِيعِهَا فَلَا تَصِحُّ إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ فِي غَيْرِ شِدَّةِ الْخَوْفِ وَلَا تَصِحُّ مِنْ الْمَاشِي الْمُسْتَقْبِلِ وَلَا مِنْ الرَّاكِبِ الْمُخِلِّ بِقِيَامٍ أَوْ اسْتِقْبَالٍ بِلَا خِلَافٍ
“(Kedelapan) Dalam Salat fardhu disyaratkan menghadap kiblat dan tidak bergerak pada seluruh bagian salatnya, maka tidak sah salat fardhu tanpa menghadap kiblat pada selain bersangatan  takut dan tidak sah salat fardhu sambil berjalan kaki walaupun menghadap kiblat dan tidak sah salat fardhu di atas kenderaan tanpa berdiri betul atau tanpa menghadap kiblat, hal ini tidak diperselisihkan.”
(فَرْعٌ)
قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَجُزْ لَهُ تَرْكُ الْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ إذَا كَانَتْ سَائِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ دَوَرَانِ الرَّأْسِ وَنَحْوِهِ جَازَتْ الْفَرِيضَةُ قَاعِدًا لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَإِنْ هَبَّتْ الرِّيحُ وَحَوَّلَتْ السَّفِينَةَ فَتَحَوَّلَ وَجْهُهُ عَنْ الْقِبْلَةِ وَجَبَ رَدُّهُ إلى القبلة ويبى عَلَى صَلَاتِهِ
“Far’un: Menurut ulama As-Syafi’iyah apabila seseorang salat fardhu dalam safinah dia tidak boleh meninggalkan berdiri bila ia sanggup sebagaiman salat di darat. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Menurut Abi Hanifah boleh meninggalkan berdiri bila safinah sedang melaju. Ulama mazhab as-Syafi’I berkata, bila ada ozor seperti pusing kepala dan lain-lain boleh salat fardhu sambil duduk karena ia tidak mampu berdiri. Maka jika safinah dibelokkan oleh angin dan ia terpaling dari kiblat, dia wajib kembali kearah kiblat dan meneruskan salatnya.”

(فَرْعٌ)
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هَكَذَا ذَكَر الْمَسْأَلَةَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ صَاحِبُ التَّهْذِيبِ وَالرَّافِعِيُّ

“Far’un: Berkata Ulama Mazhab as-Syafi’I, apabila datang waktu salat maktubah padahal mereka berada dalam kenderaan yang sedang melaju dan khawatir akan tertinggal dari rombongan bila salat diluar kenderaan dengan menghadap kiblat atau dia khawatir tentang keselamatan dirinya atau  keselamatan hartanya dia tidak boleh meninggalkan salat dan mengeluarkannya dari waktunya tetapi ia wajib salat di atas kenderaan untuk menghormati waktu dan wajib meng-I’adah salat tersebut karena itu adalah ozor yang jarang terjadi. Demikian masalah ini disebutkan oleh jama’ah ulama di antaranya pengengarang kitab at-tahzib dan Imam ar-Rafi’i.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close